Senin, 10 November 2014

Budaya Sunda adalah budaya yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat Sunda. Budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat Sunda adalah periang, ramah-tamah (soméah), murah senyum, lemah-lembut, dan sangat menghormati orang tua. Itulah cermin budaya masyarakat Sunda.Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan tertua di Nusantara. Kebudayaan Sunda yang ideal kemudian sering kali dikaitkan sebagai kebudayaan masa Kerajaan Sunda. Ada beberapa ajaran dalam budaya Sunda tentang jalan menuju keutamaan hidup. Etos dan watak Sunda itu adalah cageur, bageur, singer dan pinter, yang dapat diartikan "sembuh" (waras), baik, sehat (kuat), dan cerdas. Kebudayaan Sunda juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu di lestarikan. Sistem kepercayaan spiritual tradisional Sunda adalah Sunda Wiwitan yang mengajarkan keselarasan hidup dengan alam. Kini, hampir sebagian besar masyarakat Sunda beragama Islam, namun ada beberapa yang tidak beragama Islam, walaupun berbeda namun pada dasarnya seluruh kehidupan di tujukan untuk kebaikan di alam semesta.Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari kebudayaan–kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, dikenal sebagai masyarakat yang lembut, religius, dan sangat spiritual. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo silih asih, silih asah dan silih asuh; saling mengasihi (mengutamakan sifat welas asih), saling menyempurnakan atau memperbaiki diri (melalui pendidikan dan berbagi ilmu), dan saling melindungi (saling menjaga keselamatan). Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah nilai-nilai lain seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, hormat kepada yang lebih tua, dan menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan magis di pertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat Sunda melakukan gotong-royong untuk mempertahankannya.Budaya Sunda memiliki banyak kesenian, diantaranya adalah kesenian sisingaan, tarian khas Sunda, wayang golek, permainan anak-anak, dan alat musik serta kesenian musik tradisional Sunda yang bisanya dimainkan pada pagelaran kesenian.
Sisingaan adalah kesenian khas Sunda yang menampilkan 2–4 boneka singa yang diusung oleh para pemainnya sambil menari. Sisingaan sering digunakan dalam acara tertentu, seperti pada acara khitanan.
Wayang golek adalah boneka kayu yang dimainkan berdasarkan karakter tertentu dalam suatu cerita perwayangan. Wayang dimainkan oleh seorang dalang yang menguasai berbagai karakter maupun suara tokoh yang di mainkan.
Jaipongan adalah pengembangan dan akar dari tarian klasik .
Tarian Ketuk Tilu , sesuai dengan namanya Tarian ketuk tilu berasal dari nama sebuah instrumen atau alat musik tradisional yang disebut ketuk sejumlah 3 buah.
Alat musik khas sunda yaitu, angklung , rampak kendangsuling,kacapi,goong,calungAngklung adalah instrumen musik yang terbuat dari bambu , yang unik , enak didengar angklung juga sudah menjadi salah satu warisan kebudayaan Indonesia.
Rampak kendang adalah beberapa kendang (instrumen musik tradisional Sunda) yang di mainkan bersama – sama secara serentak.

Senin, 27 Oktober 2014

Bahasa Sunda dituturkan oleh sekitar 27 juta orang dan merupakan bahasa dengan penutur terbanyak kedua di Indonesia setelah Bahasa Jawa. Sesuai dengan sejarah kebudayaannya, bahasa Sunda dituturkan di provinsi Banten khususnya di kawasan selatan provinsi tersebut, sebagian besar wilayah Jawa Barat (kecuali kawasan pantura yang merupakan daerah tujuan urbanisasi dimana penutur bahasa ini semakin berkurang), dan melebar hingga batas Kali Pemali (Cipamali) di wilayah Brebes, Jawa Tengah.

Dialek bahasa Sunda

Dialek (basa wewengkon) bahasa Sunda beragam, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam dialek yang berbeda. Dialek-dialek ini adalah:

* Dialek Barat

* Dialek Utara
* Dialek Selatan
* Dialek Tengah Timur
* Dialek Timur Laut
* Dialek Tenggara

Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten selatan. Dialek Utara mencakup daerah Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa bagian Pantura. Lalu dialek Selatan adalah dialek Priangan yang mencakup kota Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek Tengah Timur adalah dialek di sekitar Majalengka. Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar Kuningan, dialek ini juga dipertuturkan di beberapa bagian Brebes, Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis.


Sejarah dan penyebaran

Bahasa Sunda terutama dipertuturkan di sebelah barat pulau Jawa, di daerah yang dijuluki Tatar Sunda. Namun demikian, bahasa Sunda juga dipertuturkan di bagian barat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Brebes dan Cilacap. Banyak nama-nama tempat di Cilacap yang masih merupakan nama Sunda dan bukan nama Jawa seperti Kecamatan Dayeuhluhur, Cimanggu, dan sebagainya. Ironisnya, nama Cilacap banyak yang menentang bahwa ini merupakan nama Sunda. Mereka berpendapat bahwa nama ini merupakan nama Jawa yang "disundakan", sebab pada abad ke-19 nama ini seringkali ditulis sebagai "Clacap".

Selain itu menurut beberapa pakar bahasa Sunda sampai sekitar abad ke-6 wilayah penuturannya sampai di sekitar Dataran Tinggi Dieng di Jawa Tengah, berdasarkan nama "Dieng" yang dianggap sebagai nama Sunda (asal kata dihyang yang merupakan kata bahasa Sunda Kuna). Seiring mobilisasi warga suku Sunda, penutur bahasa ini kian menyebar. Misalnya, di Lampung, di Jambi, Riau dan Kalimantan Selatan banyak sekali, warga Sunda menetap di daerah baru tersebut.


Fonologi

Saat ini Bahasa Sunda ditulis dengan Abjad Latin dan sangat fonetis. Ada lima suara vokal murni (a, é, i, o, u), dua vokal netral, (e (pepet) dan eu (ɤ), dan tidak ada diftong. Fonem konsonannya ditulis dengan huruf p, b, t, d, k, g, c, j, h, ng, ny, m, n, s, w, l, r, dan y.


Konsonan lain yang aslinya muncul dari bahasa Indonesia diubah menjadi konsonan utama: f -> p, v -> p, sy -> s, sh -> s, z -> j, and kh -> h.



Undak-usuk


Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan kerajaan Mataram-Islam, bahasa Sunda - terutama di wilayah Parahyangan - mengenal undak-usuk atau tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun, di wilayah-wilayah pedesaan/pegunungan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma (bagi orang-orang daerah Bandung terdengar kasar) tetap dominan.


Tradisi tulisan

Bahasa Sunda memiliki catatan tulisan sejak milenium kedua, dan merupakan bahasa Austronesia ketiga yang memiliki catatan tulisan tertua, setelah bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Tulisan pada masa awal menggunakan aksara Pallawa. Pada periode Pajajaran, aksara yang digunakan adalah aksara Sunda Kaganga. Setelah masuknya pengaruh Kesultanan Mataram pada abad ke-16, aksara hanacaraka (cacarakan) diperkenalkan dan terus dipakai dan diajarkan di sekolah-sekolah sampai abad ke-20. Tulisan dengan huruf latin diperkenalkan pada awal abad ke-20 dan sekarang mendominasi sastra tulisan berbahasa Sunda

Sabtu, 04 Oktober 2014

TARI MERAK



Tari Merak merupakan kesenian tari yang berasal dari tanah Pasundan. Sejarah tari merak jawa barat itu sendiri diciptakan oleh Raden Tjetjep Somantri pada tahun 1950an dan dibuat ualng oleh dra. Irawati Durban pada tahun 1965 .

Tari Merak merupakan tarian kreasi baru dari daerah Pasundan, Jawa Barat. Tarian ini diciptakan oleh Raden Tjetjep Somantri, seorang koreografer tari Sunda pada tahun 1950-an. Pada tahun 1965, tarian ini kembali diperkenalkan dengan kreasi gerak baru oleh Irawati Urban, seorang wanita pecinta seni tari yang berasal dari daerah Bandung, Jawa Barat. Di daerah Pasundan, tari Merak seringkali dimainkan ketika menyambut kedatangan tamu kehormatan dalam sebuah acara. Dalam sebuah pesta pernikahan adat Sunda, Tari Merak seringkali menjadi tari menyambut kehadiran pengantin lelaki yang hendak berjalan menuju pelaminan.

Dalam sebuah pertunjukan, tari Merak umumnya dimainkan oleh seorang atau beberapa orang penari wanita. Ketika pertunjukan, mereka mengenakan kostum yang penuh warna, seperti merah, kuning, serta hijau. Konon, warna itu menggambarkan pesona warna dari burung merak.

Untuk menambah kesan menarik, mereka juga mengenakan selendang yang warnanya senada dengan kostum penari. Selendang itu terikat pada pinggang penari Merak. Ketika dibentangkan, selendang itu tampak seperti sepasang sayap dari seekor burung Merak. Tak pernah terlewatkan, penari Merak juga menggunakan mahkota yang berhiaskan replika kepala burung merak.

Dengan diiringi seperangkat alat musik gamelan Sunda, pertunjukan tari Merak dimulai. Gerakan lemah gemulai dari sang penari Merak menjadi ciri khas tersendiri dari pertunjukan tari Merak. Sesekali, mereka menampilkan gerakan layaknya seekor burung yang sedang melompat. Gerakan tari Merak semakin terkesan mempesona ketika penari Merak menari sambil membentang sepasang sayap yang penuh warna.

Dari awal hingga pertunjukan itu usai, penari Merak memainkan gerak yang menggambarkan keanggunan, keindahan serta kelincahan seekor burung Merak. Menurut ceritanya, keseluruhan gerak dalam pertunjukan tari Merak ini menggambarkan seekor merak jantan yang berusaha menarik hati sang merak betina.

Di Al-Zaytun, tari Merak diajarkan dalam program ekstrakurikuler kepada santriwati sebagai bentuk pelestarian tari tradisional. Tari Merak biasa disuguhkan dalam penyambutan tamu yayasan dan apresiasi seni santri.
SAJAK SUNDA
 
Sajak Sunda nya eta salah sahiji wanda puisi atawa wangun ugeran anu teu pati kauger ku patokan wangunan. Ku lantaran kitu, dina mangsa awal gelarna sok disebut sajak bebas,kungsi oge disebut sanjak.Disebut bebas teh saenyana mah relatif, nya eta lamun dibandingkeun jeung puisi-puisi saheulaeunana, utamana upama dibandingkeun jeung dangding anu kabeungkeut pisan ku patokan guru wilangan jeung guru lagu. Saenyana mah sajak oge mageuhan keneh rupa-rupa konpensi puisi, upamana lebah diksina jeung rakitan ungkarana.Ari Taufik Faturohman mah nyindekkeun yen nu disebut sajak teh nya eta karangan ugeran anu ngebrehkeun pangalaman batin panyajakna. 

Sajak IWAN  M. Ridwan

Cenah hirup teh jalan nu pagaliwota
Sedeng cinta ngan saukur teteguhan
Urang bebas leumpang mapay nu can kasorang
Nyorangan atawa babarengan teu jadi sual
Di mana aya kacinta di dinya urang bakal ngalalana

Cenah hirup teh kabel nu pakuranteng
Sedeng cinta ngan sakadar layar monitor
Sing nyalse. Sing daria. Tumaninah.
Sabab jaga teuing kumaha boa
Di mana aya tunggara di dinya urang eureun ngalalana.

Cenah hirup ayeuna teh di dunya
Sedeng cinta teuing di mana ngancikna

Bandung, 11 Juli 2010

Dimuat dina Galura edisi Minggu ka I Agustus 2010

Degung Sunda 

 

Degung Sunda
a. Asal Mula Degung
Menurut Entjar Tjarmedi dalam bukunya Pengajaran Degung, alat musik (instrumen: Sunda) ini berbentuk 6 buah Goong kecil yang biasanya digantung pada sebuah gantungan yang disebut dengan penyangga. Menurut beliau istilah gamelan Degung diambil dari nama alat musik tersebut, yang kini lebih dikenal dengan istilah Jenglong (Tjarmedi, 1974, h. 7).
Ada pendapat lain yaitu dari Atik Soepandi, dalam tulisannya mengenai Perkembangan Seni Degung Di Jawa Barat, bahwa gamelan Degung adalah istilah lain dari Goong Renteng, mengingat banyak persamaan antara lagu-lagu Degung Klasik dengan lagu-lagu Goong renteng (Soepandi, 1974, h. 74). Perbedaannya adalah apabila Goong Renteng kebanyakan ditemukan di kalangan masyarakat petani (rakyat), maka gamelan Degung ditemukan di lingkungan bangsawan (menak).
b. Istilah Degung
Istilah degung memiliki dua pengertian: pertama, adalah nama seperangkat gamelan yang digunakan oleh masyarakat Sunda, yaitu
13
gamelan-degung. Gamelan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan gamelan pelog-salendro, baik dari jenis instrumennya, lagu-lagunya, teknik memainkannya, maupun konteks sosialnya; kedua, adalah nama laras (tangga nada) yang merupakan bagian dari laras salendro berdasarkan teori R. Machjar Angga Koesoemahdinata. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk nada mi (2) dan la (5)) dan degung triswara (tumbuk nada da (1), na (3), dan ti (4)). Karena perbedaan inilah, maka Degung dimaklumi sebagai musik yang khas dan merupakan identitas masyarakat Sunda.
Dihubungkan dengan kata degung berasal dari kata ngadeg (berdiri) dan agung (megah) atau pangagung (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa fungsi kesenian ini dahulunya digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. Menurut E. Sutisna, salah seorang nayaga (penabuh) grup Degung Parahyangan, mengatakan bahwa gamelan Degung dulunya hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati).
2.3.1 Alat Musik Tradisional Degung Sunda
Istilah waditra khususnya dalam degung dan umumnya dalam Karawitan Sunda adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan alat-alat yang digunakan dalam kegiatan berkesenian. Istilah dalam musik instrument. (Kubarsah, 2005, h. 101).
14
1. Bonang
Bonang adalah waditra Jenis alat pukul ber-penclon, terbuat dari bahan logam perunggu yang dimainkan dengan cara dipukul menggunakan alat bantu pemukul. Bentuk waditra Bonang seperti bentuk Goong, namun penclon-nya berukuran lebih kecil.
Bonang berasal dari kata Bo=bobo atau tidur, Nang= benang. Jika dilihat dari cara pemasangannya, penclon-penclon Bonang diletakkan diatas rentangan benang-benang. Pernyataan ini didasarkan pada kenyataan, sebab setiap penclon Bonang diletakkan seperti tidur terbaring diatas benang-benang. Demikian kondisi semula, namun pada saat ini benang-benang tersebut diganti dengan tali-tali yang terbuat dari kain atau plastik.
a. Bahan dan Rancang Bangun Penclon Bonang
Penclon Bonang yang menjadi sumber bunyi terbuat dari bahan logam perunggu atau besi. Bonang yang baik terbuat dari logam perunggu. Nama-nama bagian Bonang sama dengan nama-nama bagian Goong. Ancak Bonang
Ancak atau rurumah Bonang terbuat dari bahan kayu dan benang-benang. Rurumah dibuat
15
sedemikian rupa sehingga penclon-penclon Bonang dapat ditempatkan dengan baik. Penclon-penclon diletakkan pada rentangan-rentangan benang.
b. Nama-nama Bagian Bonang Soko adalah Kayu yang berperan sebagai kaki penyangga waditra. Benang tali adalah tali-tali sebagai penyangga penclon. Papalayu adalah bagian muka dan belakang waditra. Pongpok adalah Ujung pangkalnya ancak. Palipid adalah bilahan kayu diatas pongpok, sebagai penghalang penclon-penclon.
c. Cara Memainkan
Untuk memainkan Bonang, dipergunakan alat pemukul yang terbuat dari bahan kayu yang dibulatkan dan dibungkus oleh kain yang dililit benang-benang. Kedua alat pukul dipegang tangan sebelah kiri dan sebelah kanan. Alat pukul di-tabuh-kan pada bagian tengah penclon Bonang, untuk mendapatkan bunyi yang cepat.
16
d. Struktur dan Fungsi
Banyaknya penclon pada alat musik Bonang biasanya antara 14 sampai dengan 16 buah, dimulai dengan nada 1 (da) tertinggi sampai nada 1 (da) terendah sebanyak 3 oktaf. Penclon-penclon ini disusun di atas penyangga, dengan menempatkan penclon terkecil (nada tertinggi) di ujung sebelah kanan pemain, berurutan hingga penclon terbesar (nada terendah) di ujung sebelah kiri pemain. Hal ini disesuaikan dengan urutan nada pada laras (tangga nada) Degung.
Bonang bertugas sebagai pembawa melodi pokok yang merupakan induk dari semua alat musik lainnya. Pangkat (intro) lagu Degung dimulai dari alat musik ini (Kubarsah, 2005, h. 89).
Gambar II.3 Bonang
(Sumber:http:/www.datasunda.org/2011/05/bonang_04.jpg)
2. Jenglong
Jenglong adalah waditra ber-penclon dibuat dari perunggu, kuningan atau besi yang berdiameter antara 30
17
sampai dengan 40 cm. Dalam suatu ancak atau kakanco terdiri atas 6 buah kromong. Penclon pada alat musik Jenglong berjumlah 6 buah yang terdiri dari nada 5 (la) hingga 5 (la) di bawahnya (1 oktaf), dengan wilayah nada yang lebih rendah dari Bonang. Penclon-penclon ini digantung dengan tali pada penyangga yang berbentuk tiang gantungan. Jenglong bertugas sebagai balunganing gending (bass; penyangga lagu) yakni sebagai penegas melodi Bonang. (Kubarsah, 2005, h. 93).
Gambar II. 4 . Jenglong
(Sumber:http://www.datasunda.org/2011/05/jenglong_02.jpg)
3. Saron
Saron adalah waditra jenis alat pukul ber-bilah, terdiri 7 atau 14 bilah yang terbuat dari bahan logam perunggu yang dimainkan dengan cara dipukul, mempergunakan alat bantu pemukul. Waditra Saron
18
merupakan jenis waditra yang tergabung dalam perangkat gamelan. Kata Saron merupakan metatetis (pergantian tempat huruf hidup atau huruf mati) dari kata Saron yang berarti suara nyaring atau keras (bahasa Jawa Tengah). Saron adalah waditra-waditra yang bersuara nyaring atau keras.
a. Memukul bilah Saron Untuk membunyikan nada-nada Saron di pergunakan alat pemukul yang di sebut Panakol Saron. Panakol Saron terbuat dari bahan kayu yang bentuknya hampir menyerupai palu. Panakol Saron di pergunakan oleh tangan sebelah kanan.
b. Menengkep (menekan bilah nada)
Menengkep yaitu menekan bilah-bilah Saron, agar bilah nada yang di pukul tidak terlalu lama bergetar. Menekan bilah Saron dilakukan jari tengah sebelah kiri.
c. Struktur dan Fungsi
Jumlah wilahan pada cecempres adalah 14 buah, disusun di atas penyangga yang dimulai dari nada 2 (mi) tertinggi di ujung sebelah kanan pemain hingga nada 5 (la) terendah di ujung sebelah kiri pemain.
19
Cecempres bertugas sebagai rithem (patokan nada) yang menegaskan melodi Bonang, yang dipukul dengan pola yang konstan. Jumlah wilahan pada peking adalah sama dengan cecempres, namun nada-nada peking memiliki ambitus (wilayah nada) yang lebih tinggi dari cecempres (biasanya antara sakempyung: kira-kira 1 kwint hingga saoktaf: kira-kira 1 oktaf). Tugas peking agak berbeda dari cecempres, yakni sebagai pengiring melodi. Apabila Jenglong dan cecempres dipukul tandak (konstan menurut ketukan), maka peking terkesan lebih berimprovisasi. Peking biasa disebut sebagai pamanis lagu (Kubarsah, 2005, h. 85).
Gambar II. 5 Saron
(Sumber:Pribadi)
4. Suling
Suling adalah waditra jenis alat tiup yang terbuat dari bahan bambu berlubang (4,5 dan 6), yang dimainkan dengan cara ditiup. Suling dipergunakan
20
untuk membawakan melodi lagu, baik untuk mengiringi vokal (Tembang dan Kawih) maupun untuk dimainkan sendiri.
a. Bahan dan Rancang Bangun
Bahan yang baik untuk Suling adalah bambu tamiang yang telah berumur tua. Untuk memilih bahan Suling yang baik (cara tradisional), yaitu bambu yang telah tua umurnya direndam disungai selama satu minggu, kemudian disimpan ditempat yang panas. Bahan yang tidak pecah dinyatakan baik dan terpilih selanjutnya dipotong menurut ukuran yang diperlukan. Misalnya untuk Suling tembang sunda cianjuran antara 60-68 cm, kemudian dibuat lubang tiup dan yang terakhir membuat lubang nada.
b. Cara meniup Suling
Secara garis besar cara meniup Suling ada 3 macam yaitu, Tiupan lembut untuk membunyikan nada-nada rendah. Tiupan sedang untuk membunyikan nada-nada sedang. Tiupan keras untuk membunyikan nada-nada tinggi.
21
c. Menutup Lubang
Untuk Suling lubang enam, diperlukan enam buah jari yaitu 3 jari tangan kiri tempatkan dibagian lubang Suling atas, dan tiga jari tangan kanan ditempatkan dibagian lubang suara bawah. Ketiga jari baik tangan kanan maupun kiri itu adalah, telunjuk, jari tengah dan jari manis. Keenam jari dipergunakan membuka dan menutup seluruh lubang suara Suling.
d. Nama-nama bagian Suling Sirah adalah kepala Suling. Sumber adalah ikat kepala yang menutup dan membentuk lubang tiup. Awak adalah batang Suling. Liang Sora adalah Lubang-lubang nada yang ditutupi jari. Congo adalah ujung batang Suling (Kubarsah, 2005, h. 38).
Gambar II. 6 Suling
(Sumber:Pribadi)
22
5. Kendang
Kendang adalah waditra jenis alat tepuk terbuat dari kulit, yang dimainkan dengan cara ditepuk. Fungsinya sebagai pengatur irama lagu. Kendang merupakan waditra yang tergabung dalam perangkat gamelan.
Kendang biasa disebut Gendang, asal kata dari Ke dan Ndang (artinya Cepat) dalam bahasa Jawa. Pernyataan ini sesuai dengan fungsi waditra Kendang yaitu untuk mempercepat dan memperlambat irama. (kecuali dalam Gamelan Degung).
Berdasarkan ukuran bentuk terdapat 3 jenis waditra Kendang Sunda, antara lain:
1. Kendang Gede atau besar, dipergunakan dalam Kendang Penca sebagai iringan Pencak Silat.
2. Kendang Gending atau sedang, Kendang yang biasa dipergunakan dalam Wayangan, Kacapian dan lain-lain.
3. Kulanter adalah Kendang yang berukuran kecil. Kendang ini berperan untuk menambah variasi tabuhan Kendang sedang, sebab pemakaiannya tidak terlepas dari Kendang sedang.
a. Bahan dan Rancang Bangun Badan Kendang sebagai resonator terbuat dari bahan kayu yang dinamakan Kuluwung.
23
Bem Kendang adalah bagian lubang besar yang ditutupi lembar kulit yang terletak dibagian bawah sedangkan bidang berkulit kecil disebut Kempyang terletak dibagian atas Kendang. Wangkis adalah selaput kulit jangat binatang, penutup lubang kuluwung sebagai sumber bunyi. Rarawat adalah tali dari bahan baku rotan atau kulit jangat, sebagai alat untuk menegangkan wangkis. Pemasangan rarawat sangat khas rupa hingga disebut siki bonteng atau Wijen. Tali Rawir adalah tali dari bahan rotan atau kulit jangat untuk menutup bibir wangkis. Wengku adalah lingkaran rotan atau bambu yang dipasang dibagian ujung pangkal Kendang untuk menggulung wangkis. Anting-anting terbuat dari bahan logam (besi atau perunggu) berbentuk cincin untuk mengaitkan Tali Kendang. Nawa adalah lubang udara pada bagian badan Kendang, tempat keluarnya udara. Rehal adalah standar Kendang (ancak). Simpay adalah cincin dari kulit jangat untuk mengendurkan dan menegangkan tali rarawat.
24
b. Cara Memainkan
Meletakkan waditra Kendang besar, dengan cara dibaringkan diatas rehal. Kendang kecil diletakkan di samping kiri dan kanan Kendang besar. Pada dasarnya cara memainkan Kendang yaitu dengan cara ditepuk kedua telapak tangan. Telapak tangan sebelah kiri berfungsi untuk menepuk bagian Bem, sedang telapak tangan kanan menepuk bagian kempyang.
Suara-suara Kendang dibunyikan dengan cara: Bagian Bem Kendang ditekan tungkai kaki, untuk menghasilkan macam-macam variasi suara. Teknik pukulannya dilakukan dengan telapak tangan dan alat pemukul Kendang (Kubarsah, 2005, h. 72).
Gambar II. 7 Kendang
(Sumber:Pribadi)
6. Goong
Goong adalah waditra jenis alat pukul ber-penclon, terbuat dari bahan logam perunggu. Dibunyikan dengan cara dipukul oleh alat bantu pemukul dang menghasilkan
25
suara yang paling besar (rendah). Bunyi Goong berfungsi sebagai penutup setiap akhir kalimat lagu.
Kata Goong merupakan peniruan dari bunyi atau suara waditra-nya yang setiap dipukul berbunyi “Gong”. Goong mempunyai ukuran bentuk paling besar, jika dibandingkan dengan waditra ber-penclon lainnya, seperti Bonang, kenong, Jenglong, dan lain-lain.
a. Bahan dan Rancang Bangun
Goong Gantung terdiri dari Goong dan penggantungannya yang disebut kakanco.
Goong berbentuk bulat pipih, ber-penclon, yang terbuat dari perunggu. Ukuran diameter antara 90 cm s/d 105 cm.
b. Nama-nama Bagian Goong terdiri dari: Penclon
Penclon adalah kepala Goong yang terdapat ditengah-tengah (merupakan titik pusat lingkaran). Raray
Raray adalah merupakan muka Goong. Manis Raray
Adalah bagian yang memberi keindahan pada Goong yaitu yang mengelilingi raray.
26
Taktak
Bagian yang mengelilingi manis raray, sebagai penguat badan. Awak
Badan Goong yang berukuran tinggi antara 8-12 cm. Lalambe
Bibir Goong yang terletak dibagian bawah.
c. Cara Memainkan
Goong Gantung dipukul dengan alat talu, dipukulnya kearah pinggir, alat pemukul Goong berbentuk bulat pada bagian kepalanya, dibungkus oleh kain setelah ada benda empuk didalamnya. Alat tersebut digenggam oleh tangan kanan. Setelah itu dipukulkan kepada penclon Goong tersebut. Untuk memendekkan suara agar tidak terlalu panjang, maka tangan kiri dipergunakan untuk menahan (nangkep) bagian belakang, tepatnya penengkepan suara dilakukan oleh tangan kiri yang menekan bagian belakang penclon.
d. Struktur dan Fungsi
Goong yang terdiri dari 2 buah penclon, yakni kempul (Goong kecil) dan Goong (Goong besar) digantung dengan tali secara berhadapan pada penyangga. Kempul berada di sebelah kiri pemain,
27
sementara Goong di sebelah kanan pemain. Ambitus nada Goong sangat rendah,
Bertugas sebagai pengatur wiletan (birama) atau sebagai tanda akhir periode melodi dan penutup kalimat lagu.
Seperti halnya peking, waditra Kendang dan Suling juga merupakan tambahan. Pada awalnya Kendang tidak dimainkan seperti pada lagu-lagu ber-laras pelog/salendro, tetapi hanya sebagai penjaga ketukan saja seperti pada orkestra Barat. Namun permainan Kendang pada lagu-lagu Degung sekarang lebih variatif. Begitupun dalam permainan Suling. Walaupun dengan timbre (warna suara) yang berbeda, namun kedudukannya sama seperti vocal (Kubarsah, 2005, h. 94).
Gambar II. 8 Goong
(Sumber:http://yudhipri.files.wordpress.com/2010/06/gong_ageng.jpg)
28
2.4 Target Audience
Target audience adalah gabungan dari target market (orang-orang yang membutuhkan, memanfaatkan serta mampu membeli produk tersebut) dan ruang lingkup yang mempengaruhi target market baik secara langsung maupun tidak langsung. Berikut adalah penjelasan karakter target audience dari segi demografis, psikogafis, dan geografis.
1. Geografis
Secara geografis, target audience buku alat musik tradisional Degung Sunda adalah masyarakat yang tinggal di Bandung pada khususnya untuk mengetahui seputar informasi alat musik tradisional Degung Sunda yang berkembang di Bandung.
2. Demografis
Target audience dari buku alat musik tradisional Degung Sunda ini secara demografis adalah sebagai berikut :
Usia : 9-12 tahun
Pendidikan : Sekolah Dasar
Jenis Kelamin : Laki-laki dan perempuan
Target audience dari buku alat musik tradisional Degung Sunda adalah anak-anak usia 9 tahun sampai 12 tahun
3. Psikografis
Buku pengenalan alat musik tradisional Degung Sunda ini merupakan golongan menengah keatas yang memiliki ketertarikan terhadap alat musik tradisional Degung Sunda.

Kamis, 02 Oktober 2014

Angklung

Angklung adalah alat musik terbuat dari dua tabung bambu yang ditancapkan pada sebuah bingkai yang juga terbuat dari bambu. Tabung-tabung tersebut diasah sedemikian rupa sehingga menghasilkan nada yang beresonansi jika dipukulkan. Dua tabung tersebut kemudian ditala mengikuti tangga nada oktaf. Untuk memainkannya, bagian bawah dari bingkai ini dipegang oleh satu tangan, sementara tangan yang lain menggoyangkan angklung secara cepat dari sisi kiri ke kanan dan sebaliknya. Hal ini akan menghasilkan suatu nada yang berulang. Dengan demikian, dibutuhkan sebanyak tiga atau lebih pemain angklung dalam satu ensembel, untuk menghasilkan melodi yang lengkap.
Angklung telah populer di seluruh Asia Tenggara, namun sesungguhnya berasal dari Indonesia dan telah dimainkan oleh etnis Sunda di Provinsi Jawa Barat sejak zaman dahulu. Kata “angklung” berasal dari dua kata “angka” dan “lung”. Angka berarti “nada”, dan lung berarti “putus” atau “hilang”. Angklung dengan demikian berarti “nada yang terputus”.
Pada perioda Hindu dan Kerajaan Sunda, Jawa Barat, angklung memegang peranan sangat penting pada beberapa upacara ritual masyarakat Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai perantara dalam ritual, angklung dimainkan untuk menghormati Dewi Sri, dewi kesuburan, dengan harapan agar negeri dan kehidupan mereka dapat diberkati. Di kemudian hari, menurut Kidung Sunda, alat musik ini juga digunakan oleh Kerajaan Sunda untuk penyemangat dalam situasi pertempuran di Perang Bubat.
Angklung tertua yang masih ada sampai kini ialah Angklung Gubrag. Angklung ini dibuat pada abad ke-17 di Jasinga,Bogor. Pada saat ini, beberapa angklung dari zaman dahulu masih tersimpan di Museum Sri Baduga, Bandung.
Seiring berjalannya waktu, angklung telah menarik banyak perhatian di dunia internasional. Pada tahun 1938, Daeng Soetigna, dari Bandung, menciptakan angklung yang berdasarkan tangga nada diatonik, alih-alih menggunakan tangga nada tradisional pélog atau saléndro. Sejak saat itu, angklung digunakan untuk tujuan pendidikan dan hiburan, dan bahkan dapat pula dimainkan bersama dengan alat-alat musik Barat dalam orkestra. Salah satu penampilan angklung dalam orkestra yang sangat terkenal ialah pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Udjo Ngalagena, seorang murid dari Daeng Soetigna, kemudian membuka “Saung Angklung” (Rumah  Angklung) pada tahun 1966 sebagai pusat pengembangan angklung.
UNESCO menetapkan angklung sebagai Karya Budaya Takbenda dan Warisan Budaya Dunia pada tanggal 18 November 2010. Di samping itu, UNESCO menyarankan dengan sangat kepadaIndonesia untuk senantiasa menjaga dan melestarikan karya dan warisan budayanya.

kebudayaan sunda

Kebudayaan sunda sudah ada sejak abad sebelum masehi, menurut penelitian arkeologis di dataran sunda telah bermukim kelompok masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan, mata pencaharian dan organisasi sosial. Secara fisik sulit membedakan anatara orang sukusunda dengan orang suku jawa, karena mereka notabene bermukim di pulau jawa. Perbedaan jelas terlihat pada bahasanya. Salah satu kebudayaan suku sunda adalah bahasa sunda yang di ciptakan dan di gunakan orang sunda dalam rutinitas keseharian hidup mereka. Bukti tertulis bahasa sunda berasal dari prasasti dari abad ke 14M yang di temukan di kawali, ciamis jawa barat. Bahasa sunda banyak sekali dipengaruhi struktur bahasa sansekerta dari india. Berkaitan dengan makalah ini, saya akan membahas lebih dalam lagi soal mengenai budaya sunda. Seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa sunda adalah budaya tertua di jawa barat. Dahulunya sunda di bagi dalam dua wilayah yakni sunda besar dan sunda kecil, sunda besar meliputi sumatera, kalimantan, jawa, dan madura. Sementara sunda kecil meliputi bali, lombok, sumbawa, sumba, flores dan timor. Terbukti dengan adanya prasasti yang di tinggalkan pada masa jauh sebelum datangnya penjajah ke indonesia, kebudayaan sunda bukan hanya dari segi kesenian, struktur bangunan, produk, atau yang lainnya. Sunda pula memiliki kebudayaan yang lain dari pada yang lain. Yakni bahasa sunda, bahasa sunda adalah bahasa daerah paling tua di indonesia, pada awalnya bahasa sunda di gunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sunda, baik sunda besar ataupun sunda kecil namun saat ini seiring beriringnya waktu budaya sunda itupun mulai terkikis oleh zaman. Misalnya bahasa sampurasun, sudah tidak banyak lagi dipakai oleh orang sunda meskipun bahasa itu juga di pakai oleh orang jawa. Budaya lain dari sunda yang terkenal adalah nyanyiannya, seperti bubuy bulan, manuk dadali, dan lain sebagainya. Budaya dari segi arsitektur Sunda juga dikenal dengan arsitekturnya yang indah seperti masjid agung banten Masjid Agung Banten adalah salah satu masjid tertua di Indonesia yang penuh dengan nilai sejarah. Setiap harinya masjid ini ramai dikunjungi para peziarah yang datang tidak hanya dari Banten dan Jawa Barat, tapi juga dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Masjid Agung Banten terletak di Desa Banten Lama, sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang. Masjid ini dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama dari Kesultanan Banten. Ia adalah putra pertama dari Sunan Gunung Jati. Menara yang menjadi ciri khas Masjid Banten terletak di sebelah timur masjid. Menara ini terbuat dari batu bata dengan ketinggian kurang lebih 24 meter, diameter bagian bawahnya kurang lebih 10 meter. Untuk mencapai ujung menara, ada 83 buah anak tangga yang harus ditapaki dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas pantai dapat terlihat di atas menara, karena jarak antara menara dengan laut yang hanya sekitar 1,5 km. Dahulu, selain digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan, menara yang juga dibuat oleh Hendick Lucasz Cardeel ini digunakan sebagai tempat menyimpan senjata. Salah satu kekhasan yang tampak dari masjid ini adalah atap bangunan utama yang bertumpuk lima, mirip pagoda China yang juga merupakan karya arsitek Cina yang bernama Tjek Ban Tjut. Dua buah serambi yang dibangun kemudian menjadi pelengkap di sisi utara dan selatan bangunan utama. Atap yang berundak-undak ini mencirikan bahwa pada masa lalu budaya sunda dan budaya china kental sekali hubungannya, atap ini juga mencirikan bahwa mereka mengagungkan tuhan di atas segalanya seperti hal-nya sturktur bangunan budha dan hindu. Di masjid ini juga terdapat kompleks pemakaman sultan-sultan Banten serta keluarganya. Yaitu makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya. Masjid Agung Banten juga memiliki paviliun tambahan yang terletak di sisi selatan bangunan inti Masjid ini. Paviliun dua lantai ini dinamakan Tiyamah. Berbentuk persegi panjang dengan gaya arsitektur Belanda kuno, bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda bernama Hendick Lucasz Cardeel. Biasanya, acara-acara seperti rapat dan kajian Islami dilakukan di sini. Sekarang bangunan ini digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang pusaka. Masjid agung demak pada awalnya dan sampai sekarang masih sama bangunanya. Tidak mewah karena memang mengutamakan aspek kesederhanaan hidup sama seperti aspek estetika ketimuran. Keterkaitan dengan budaya sunda adalah, orang sunda merupakan suku yang paling ramah di pulau jawa terhadap pendatang. Merka pasti menyambut baik para pendatang. Maskid banten pun sama, mereka ramah dan konsisten terhadap perkembangan budaya luar yang sudah mengadaptasi struktur bangunan eropa. Budaya dari segi permainan Masyarakat sunda terbilang kreatif dalam hal permainan anak-anak, seperti ucing sumput, sorodot gaplok, tatarucingan, ngadu buncang, bebentengan, egrang dll. Kesemua permainan itu muncu dari hasil kebudayaan sunda yang kental sampai saat ini, meskipun sudah banyak terkikis oleh era modern.